JAKARTA, Fajarindonesia.com – Sejumlah kalangan menolak keputusan DPR yang menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang saat perppu tersebut sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.
BACA JUGA: Koalisi Perubahan: Nasdem, Demokrat dan PKS Kawal Safari Anies Baswedan
BACA JUGA: Koalisi Perubahan: Anies Sudah Kantongi Nama Cawapres
Mengutip dari Kompas.id, Peneliti The Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi mengungkapkan, UU Cipta Kerja akan berdampak buruk bagi masyarakat perdesaan dan kaum buruh.
Perlindungan kerja kepada petani akan melemah dan komoditas pangan impor akan semakin mengimpit petani lokal.
BACA JUGA: Muslim Arbi, Ingin Megawati Ikuti Saran Rizal Ramli, Jangan Tertipu Gombalan Survei Pencitraan
BACA JUGA: Penyokong Tunda Pemilu 2024 Kecewa, Semua Fraksi di Komisi II DPR Sepakati Perppu Pemilu
Misalnya, Pasal 30 Ayat 1 UU Cipta Kerja yang membuka lebar keran impor pangan sehingga petani dibiarkan bersaing di pasar bebas dengan kekuatan korporasi atau pemodal besar di bidang pangan.
Selain itu, ada penghapusan soal sanksi dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar bagi pengimpor komoditas pertanian saat hasil komoditas lokal masih mencukupi di UU Cipta Kerja.
BACA JUGA: Perppu Pemilu Disetujui, Tito Karnavian: Kalau Tidak, Pemilu 2024 Bisa Ditunda
Sanksi itu sebelumnya ada dalam Pasal 101 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Petani khawatir undang-undang yang dibuat dengan metode omnibus law ini akan semakin mengimpit lapangan pekerjaan mereka.
BACA JUGA: Yusril Ihza Mahendra: Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu Bisa Berlaku jika Disetujui Pengadilan Tinggi
BACA JUGA: Yusril Ihza Mahendra: Majelis Hakim PN Jakpus Keliru Hukum KPU Tunda Pemilu
Produksi dalam negeri akan mati, benih lokal menghilang, hingga lahan pertanian tergusur pembangunan atas nama investasi.
“Sebelum ada UU Cipta Kerja saja desa-desa ini sudah dihajar dengan investasi yang ugal-ugalan, sementara UU ini mencakup banyak sekali sendi di masyarakat,” ungkap Sri dalam peluncuran buku modul untuk rakyat berjudul Memahami dan Melawan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (24/3).
BACA JUGA: Ucapan Bupati Meranti Soal Pegawai Kemenkeu berisi iblis, Kini Terbukti Benar
BACA JUGA: Ditelepon Tengah Malam oleh Megawati, Mahfud MD: Saya Juga Endak Tahu
Dampak ke Nelayan dan Masyarakat Pesisir
Tak hanya petani, kelompok nelayan, petambak, dan masyarakat pesisir juga mengalami nasib yang tak jauh beda.
Definisi nelayan kecil yang sebelumnya dalam UU No 45/2009 dibatasi dengan ukuran kapal maksimal 5 gros ton, di dalam UU Cipta Kerja tidak dibatasi lagi.
BACA JUGA: Mantan Perdana Menteri Britania Raya Tony Blair Kunjungi Prabowo, Pengamat Menilai Indikasi Dukungan
BACA JUGA: Buru Harun Masiku, Polri Sebar Red Notice ke Sejumlah Negara
Nelayan kecil hanya dianggap nelayan yang mencari ikan untuk kebutuhan sehari-hari.
Hal ini berarti perlindungan terhadap nelayan terancam karena akan terjadi penyamarataan antara nelayan kecil dan nelayan bermodal.
Definisi yang tidak jelas ini menimbulkan ketidakadilan karena izin berusaha untuk nelayan besar tidak menjadi masalah.
BACA JUGA: Dukungan Jokowi untuk Prabowo, Ketua Harian DPP Gerindra, Sufmi Dasco: Ini Jadi Motivasi
BACA JUGA: Muncul Isu Munaslub, Waketum Golkar Bamsoet: Kita Solid Menangkan Golkar dan Airlangga Hartarto
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengancam area tangkap ikan bagi nelayan kecil karena tidak ada batasan yang jelas.
Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga tidak lagi wajib melibatkan konsultasi aktif dengan publik. Dampaknya, kerusakan lingkungan.
Sri menyebut, UU Cipta Kerja juga telah banyak menghapus, mengubah, dan menyisipkan beberapa ketentuan di dalam UU yang terkait dengan masyarakat hukum adat.
BACA JUGA: Fuad Bawazier: Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Jadi Beban APBN Seumur Hidup
Di antaranya, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No 39/2014 tentang Perkebunan, dan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Misalnya, UU Cipta Kerja membuat badan usaha milik desa (BUMDes) bisa dimasuki modal asing karena frasa dimiliki oleh masyarakat itu dihapus. Tanpa UU Cipta Kerja saja desa-desa itu sebenarnya sudah banyak dikooptasi oleh modal, sementara desa ini sangat lemah dan nyaris tidak ada perlindungan,” papar Sri.
BACA JUGA: Jelang Pemilu 2024, Mendagri Minta Polri Jaga Stabilitas Keamanan
Buruh Kehilangan Kepastian Kerja
Aktivis buruh Nining Elitos juga mengecam pengesahan UU Cipta Kerja.
Menurut Nining, buruh akan kehilangan kepastian kerja, ekonominya semakin tertekan karena upah akan semakin rendah, sedangkan beban kerja bertambah, hingga nilai tawar buruh terhadap perusahaan dan pemerintah akan merosot.
BACA JUGA: Manfaat Digital Marketing Bagi Perusahaan Untuk Jangka Panjang
Nining menilai, UU Cipta Kerja diciptakan untuk kepentingan pengusaha.
Suara-suara penolakan dari masyarakat, mulai dari jalanan hingga jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi, tidak didengar.
BACA JUGA: Jelang Timnas Indonesia vs Palestina: Reuni Mantan Gelandang Persib Bandung Paling Ditunggu
Bahkan, suara masyarakat dibungkam dengan surat telegram Kepala Polri yang menginstruksikan anggota kepolisian untuk melawan narasi anti-UU Cipta Kerja di masyarakat.
“Kekuasaan hari ini semakin culas dan mereka tidak butuh rakyat. Yang mereka butuhkan hanya investasi, tetapi mengorbankan aspek yang lebih besar, yaitu persoalan kemanusiaan yang adil dan sejahtera,” kata Nining.